Ustadz Kholid Syamhudi,

Para ulama sangat memperhatian shalat sunnah Rawâtib ini. Yang dimaksud dengan shalat sunnah Rawâtib, yaitu shalat-shalat yang dilakukan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam atau dianjurkan bersama shalat wajib, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada yang mendefinisikannya dengan shalat sunnah yang ikut shalat wajib.1 Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, yaitu shalat yang terus dilakukan secara kontinyu yang mendampingi shalat fardhu.2

Bagaimanakah kedudukan shalat sunnah Rawâtib ini, sehingga para ulama sangat memperhatikannya?

Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya maka Rabb 'Azza wa jalla berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?" Lalu shalat wajibnya yang kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian. (HR at-Tirmidzi).

Dari hadits tersebut, menjadi jelaslah betapa shalat sunnah Rawâtib memiliki peran penting, yakni untuk menutupi kekurangsempurnaan yang melanda shalat wajib seseorang. Terlebih lagi harus diakui sangat sulit mendapatkan kesempurnaan tersebut, sehingga Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya sepersepuluh shalat, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya sepertiganya, setengahnya. (HR Abu Dawud dan Ahmad).

KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWÂTIB

Ada beberapa hadits Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan keutamaan shalat sunnah Rawâtib secara umum, dan ada juga yang khusus pada satu shalat sunnah Rawatib tertentu, seperti keutamaan shalat sunnah sebelum Subuh.

Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan shalat sunah Rawâtib secara umum, ialah hadits Ummu Habîbah, yang berbunyi:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas raka'at shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun untuknya sebuah rumah di surga.3

Jumlah raka'at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari hadits Ummu Habibah sendiri, yang berbunyi:

قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Ummu Habibah berkata,"Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:'Barang siapa yang shalat dua belas raka'at maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at setelahnya, dua raka'at setalah Maghrib, dua raka'at sesudah 'Isya`, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh'."

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

مَنْ ثَابَرَ عَلَى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka'at, maka Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga. (HR an-Nasâ-i).

Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita mengerjakan shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam keutamaan tersebut. Dan ini dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam , sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu 'Umar berikut ini.

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَتْ سَاعَةً لَا يُدْخَلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Aku hafal dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah Maghrib, dua raka'at setelah 'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit fajar, beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at.4

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh:

وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَأَمَّا الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ فَفِي بَيْتِهِ

Dan dua raka'at setelah Jum'at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan 'Isya dilakukan di rumahnya.5

Dalam riwayat Muslim berbunyi:

فَأَمَّا الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ وَالْجُمُعَةُ فَصَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ

Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum'at, aku lakukan bersama Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya.6

JUMLAH RAKA'AT SUNNAH RAWÂTIB

Dalam masalah jumlah raka'at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat. Ini dikarenakan perbedaan dua hadits di atas.

Pertama, menyatakan jumlah raka'atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu tersebut, dan inilah pendapat para ulama madzhab Hambaliyah dan Syafi'iyyah.7

Kedua, menyatakan jumlah raka'atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits Ummu Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu Taimiyyah.

Ketiga, menyatakan tidak ada batasan jumlah raka'at, bahkan cukup dengan melakukan dua raka'at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan shalat sunnah Rawatib, dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.

Keempat, menyatakan jumlah raka'atnya delapan belas. Demikian ini pendapat Imam asy-Sya-irazi dan disetujui Imam an-Nawawi dalam al-Majmû' Syarhul-Muhadzdzab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu Habibah di atas, serta hadits Ummu Habibah lainnya yang berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

Aku mendengar Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Barang siapa yang menjaga empat raka'at sebelum Zhuhur dan empat raka'at setelahnya maka Allah mengharamkannya dari neraka."9

Juga hadits yang berbunyi:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

Dari Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu , dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum 'Ashar empat raka'at".10

Menurut Imam Nawâwi, beliau rahimahullah mengatakan, yang paling sempurna dalam Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas raka'at, sebagaimana dijelaskan penulis (asy-Sya-irazi), dan paling sedikit adalah sepuluh, sebagaimana yang beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang berpendapat delapan raka'at dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini pendapat al-Khudari. Dan ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah dua raka'at lain sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua raka'at sebelum shalat 'Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.11 Yang rajih –Wallahu A'lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah Rawâtib sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan sebelum atau sesudah, dan ada anjuran dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam . Sehingga yang lengkap ialah delapan belas raka'at, sebagaimana disampaikan Imam an-Nawawi di atas.

Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?

Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih ialah pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin12, yaitu duabelas raka'at dengan perincian dua raka'at sebelum Subuh, empat raka'at sebelum Zhuhur, dua raka'at setelah Zhuhur, dua raka'at setelah Maghrib, dan dua raka'at setelah 'Isya`, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Habîbah, juga dikuatkan dengan hadits 'Aisyah yang berbunyi:

Sesungguhnya dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur.13

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu yang menerangkan bahwa beliau radhiallahu'anhu hafal dari Nabi sepuluh raka'at. Mengenai hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: "Dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam selalu menjaga sepuluh raka'at pada waktu muqim. Inilah yang disampaikan Ibnu 'Umar . . . , dan beliau shollallahu 'alaihi wa sallam terkadang shalat empat raka'at sebelum Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam Shahîhain dari 'Aisyah bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya bila Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam shalat di rumah, maka beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat empat raka'at. Dan bila shalat di masjid, maka shalat dua raka'at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat begitu, kemudian 'Aisyah dan Ibnu 'Umar masing-masing menyampaikan apa yang dilihatnya".14

Adapun Syaikh 'Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi terhadap hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: "Pernyataan 'empat raka'at sebelum Zhuhur', tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar yang terdapat pernyataan 'dua raka'at sebelum Zhuhur'. Letak komprominya, terkadang beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at dan terkadang empat. Kemudian masing-masing dari mereka berdua (Ibnu 'Umar dan 'Aisyah), masing-masing menceritakan salah satu dari kedua amalan tersebut. Fenomena semacam ini terjadi juga pada banyak ibadah dan dzikir-dzikir sunnah."15

FAIDAH SHALAT SUNNAH RAWÂTIB

Sebagaimana telah diuraikan pada awal uraian ini, shalat sunnah Rawâtib ini didefinisikan dengan shalat yang terus dilakukan secara kontinyu mendampingi shalat fardhu. Demikian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin memberikan definisinya, sehingga berkaitan dengan faidah shalat sunnah Rawatib ini, beliau memberikan penjelasan: "Faidah Rawatib ini, ialah menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu".

Sedangkan Syaikh 'Abdullah al-Basâm mengatakan dalam Ta-udhihul-Ahkam (2/383-384) bahwa shalat sunnah Rawâtib memiliki manfaat yang agung dan keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus kejelekan, meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu. Sehingga Syaikh al-Basâm mengingatkan, menjadi keharusan bagi kita untuk memperhatikan dan menjaga kesinambungannya.
Wallahul-Muwaffiq.

  • 1 Shahîh Fiqhis-Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun (1/372).
  • 2 Syarhul-Mumti' 'ala Zâdil-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al- 'Utsaimin, Tahqîq: Dr. Khâlid al-Musyaiqih dan Sulaimân Abu Khail, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H (3/93).
  • 3 HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfir wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah Qablal-Farâ-idh wa Ba'daha, no. 1199.
  • 4 HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: ar-Rak'atain Qablal-Zhuhur (no. 1180), dan Muslim, kitabShalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 729).
  • 5 HR al-Bukhari, kitab Jum'at, Bab: Tathawwu' Ba'dal-Maktubah (no. 1120), dan Muslim, kitabShalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
  • 6 HR Muslim kitab Shalat al-Musafirîn wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
  • 7 Syarhul-Mumti' (3/93) dan Shahih Fiqhis-Sunnah (1/372).
  • 8 Ibid.
  • 9 HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat (no. 428), Ibnu Majah, kitab ash-Shalat (no. 428), AbuDawud, kitab ash-Shalat, Bab: al-Arba' Qablal-Zhuhri wa Ba'daha (no. 1269) dan Ibnu Majah, kitab ash-Shalat was-Sunnah fiha, Bab: Mâ Jâ-a fiman Shalla Qablal-Zhuhri `Arba'an waBa'daha `Arba'an (no. 1160). Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Ibni Majah
  • 10 HR Ahmad dalam Musnad-nya (4/203), at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Jâ-a fil-Arba' Qablal-'Ashr (no. 430), Abu Dawud dalam kitab ash-Shalat, Bab ash-ShalatQablal-'Ashr (no. 1271), dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud
  • 11 Al- Majmu' Syarhul-Muhadzab, Imam an-Nawawi dengan penyempurnaan oleh muhammadNajîb al-Muthi'i, Dar Ihyâ-ut-Turats al-'Arabi, Beirut, Cetakan Tahun 1419H (3/502).
  • 12 Syarhul-Mumti' (4/96).
  • 13 HR al-Bukhari dalam kitab al-Jum'at, Bab: ar-Rak'ata-in Qablal-Zhuhri (no. 1110).
  • 14 Zâdul-Ma'âd, Ibnul-Qayyim, Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth, Mu-assasah ar-Risalah, CetakanKedua, Tahun 1418 H (1/298).
  • 15 Ta-udhihul-Ahkâm min Bulughul-Maram, Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur-Rahman al-Basâm, Maktabah al-Asadi, Mekkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423 H (2/382-383).
  • 16 Syarhul-Mumti' (4/96).
(1/191). (1/237).

Tauhid (Hakekat dan Kedudukannya)

Diposting oleh abufawwaz | 19.20 | , | 0 komentar »

Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Attamimi,

Firman Allah Subhanahu wata’ala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذريات:56)

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah([1]) kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat, 56).

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت 'النحل: من الآية:36)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan) “Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thoghut”([2]).” (QS. An Nahl, 36).

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS. Al Isra’, 23-24).

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am, 151-153).

Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata : “Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam yang tertera di atasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Subhanahu wata’ala : “Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, dan “Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain.([3])”

Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu berkata :

كنت رديف النبي على حمار، فقال لي :" يا معاذ، أتدري ما حق الله على العباد، وما حق العباد على الله ؟ قلت : الله ورسوله أعلم، قال : حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا، قلت : يا رسول الله، أفلا أبشر الناس ؟ قال : " لا تبشرهم فيتكلوا ".

“Aku pernah diboncengkan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku : “ wahai muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya, dan apa hak hamba-hambaNya yang pasti dipenuhi oleh Allah?, Aku menjawab : “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda : “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hambaNya ialah hendaknya mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang orang yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, lalu aku bertanya : ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?, beliau menjawab : “Jangan engkau lakukan itu, karena Khawatir mereka nanti bersikap pasrah” (HR. Bukhari, Muslim).

Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini :

1. Hikmah diciptakannya jin dan manusia oleh Allah Ta'ala.
2. Ibadah adalah hakekat (tauhid), sebab pertentangan yang terjadi antara Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan kaumnya adalah dalam masalah tauhid ini.
3. Barang siapa yang belum merealisasikan tauhid ini dalam hidupnya, maka ia belum beribadah (menghamba) kepada Allah Tabaroka wata’ala inilah sebenarnya makna firman Allah :
]ولا أنتم عابدون ما أعب[
“Dan sekali-kali kamu sekalian bukanlah penyembah (Tuhan) yang aku sembah” (QS. Al Kafirun, 3)
4. Hikmah diutusnya para Rasul [adalah untuk menyeru kepada tauhid, dan melarang kemusyrikan].
5. Misi diutusnya para Rasul itu untuk seluruh umat.
6. Ajaran para Nabi adalah satu, yaitu tauhid [mengesakan Allah Subhanahu wata’ala saja].
7. Masalah yang sangat penting adalah : bahwa ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala tidak akan terealisasi dengan benar kecuali dengan adanya pengingkaran terhadap thoghut.
Dan inilah maksud dari firman Allah Subhanahu wata’ala :
]فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى[
“Barang siapa yang mengingkari thoghut dan beriman kepada Allah, maka ia benar benar telah berpegang teguh kepada tali yang paling kuat” (QS. Al Baqarah, 256).
8. Pengertian thoghut bersifat umum, mencakup semua yang diagungkan selain Allah.
9. Ketiga ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al An’am menurut para ulama salaf penting kedudukannya, didalamnya ada 10 pelajaran penting, yang pertama adalah larangan berbuat kemusyrikan.
10. Ayat-ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al Isra' mengandung 18 masalah, dimulai dengan firman Allah :

لا تجعل مع الله إلها آخر فتقعد مذموما مخذولا

“Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela” (QS. Al Isra’, 22).

Dan diakhiri dengan firmanNya :

ولا تجعل مع الله إلها آخر فتلقى في جهنم ملوما مدحورا

“Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu (nantinya) dicampakkan kedalam neraka jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan (dari rahmat Allah)” (QS. Al Isra’, 39).

Dan Allah mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firmanNya:

ذلك مما أوحى إليك ربك من الحكمة

“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu” (QS. Al Isra’, 39).

11. Satu ayat yang terdapat dalam surat An Nisa’, disebutkan didalamnya 10 hak, yang pertama Allah memulainya dengan firmanNya:

واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا

“Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja), dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun.” (QS. An Nisa’, 36).

12. Perlu diingat wasiat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di saat akhir hayat beliau.
13. Mengetahui hak-hak Allah yang wajib kita laksanakan.
14. Mengetahui hak-hak hamba yang pasti akan dipenuhi oleh Allah apabila mereka melaksanakannya.
15. Masalah ini tidak diketahui oleh sebagian besar para sahabat([4]).
16. Boleh merahasiakan ilmu pengetahuan untuk maslahah.
17. Dianjurkan untuk menyampaikan berita yang menggembirakan kepada sesama muslim.
18. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam merasa khawatir terhadap sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah.
19. Jawaban orang yang ditanya, sedangkan dia tidak mengetahui adalah : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.
20. Diperbolehkan memberikan ilmu kepada orang tertentu saja, tanpa yang lain.
21. Kerendahan hati Rasulullah, sehingga beliau hanya naik keledai, serta mau memboncengkan salah seorang dari sahabatnya.
22. Boleh memboncengkan seseorang diatas binatang, jika memang binatang itu kuat.
23. Keutamaan Muadz bin Jabal..





________________________________________
([1]) Ibadah ialah penghambaan diri kepada Allah ta’ala dengan mentaati segala perintah Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Dan inilah hakekat agama Islam, karena Islam maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah semata, yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya, dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.
Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhoi oleh Allah. Dan suatu amal akan diterima oleh Allah sebagai ibadah apabila diniati dengan ikhlas karena Allah semata dan mengikuti tuntunan Rasulullah SAW.
([2]) Thoghut ialah : setiap yang diagungkan selain Allah dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi, baik yang diagungkan itu berupa batu, manusia ataupun setan. Menjauhi thoghut berarti mengingkarinya, tidak menyembah dan memujanya, dalam bentuk dan cara apapun.
([3]) Atsar ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim.
([4]) Tidak diketahui oleh sebagian besar para sahabat, karena Rasulullah menyuruh Muadz agar tidak memberitahukannya kepada meraka, dengan alasan beliau khawatir kalau mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah. Sehingga tidak mau berlomba lomba dalam mengerjakan amal sholeh. Maka Mu’adz pun tidak memberitahukan masalah tersebut, kecuali di akhir hayatnya dengan rasa berdosa. Oleh sebab itu, di masa hidup Mu’adz masalah ini tidak diketahui oleh kebanyakan sahabat.
Sumber: Kitab Tauhid, Penulis : Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Attamimi



Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali,

Kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mengikuti manhaj Salaf, adalah suatu keharusan. Karena manhaj ini merupakan cara beragama yang diridhai Allah Ta'ala dan merupakan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahwasaanya, ittiba'ur-Rasul (mengikuti Rasulullah) tidak akan terwujud, kecuali dengan perantara, yang mengambil manhaj, istidlal dan talaqqi. Yakni para sahabat radhiallahu'anhum ajma'in. Merekalah generasi awal ummat ini, yang disebutkan dalam firman Allah surat at Taubah/9 ayat 100, yang artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah . . . Bagaimana dan sejauh manakah kedudukan manhaj Salaf ini bagi ummat-ummat kemudian?

Berikut penjelasan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, yang kami angkat dari ceramah umum yang beliau disampaikan di Masjid Jakarta Islamic Centre, pada hari Ahad, 23 Muharram 1427 H bertepatan dengan 11 Februari 2007. Diterjemahkan secara bebas oleh Ustadz Abul Minhal. Semoga bermanfaat.

Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala telah memilihkan agama Islam bagi kita, meridhai dan menyempurnakan serta melengkapinya. Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. (QS al Maidah/5:3).

Allah Ta'ala telah menjelaskannya secara gamblang dan menguraikannya dengan keterangan sangat rinci. Allah menerangkan melalui utusan dan bayan (penjelasan) Nabi kita Muhammad. Allah berfirman :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ

Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al Qur'an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (QS an-Nahl/16:44)

Di antara penjelasan yang beliau sampaikan, yaitu mengenai wajah Islam yang shahih (asli) yang masih utuh, dalam situasi perpecahan umat dan silang pendapat yang menerpa mereka, seperti yang dialami umat sebelumnya. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اَلْيَوْمَ وَأَصْحَابِي

"Bangsa Yahudi telah terpecah-belah menjadi 71 golongan. Dan umat Nashara telah tercerai-berai menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya berada di neraka, kecuali satu (golongan)," kemudian ada yang bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah,” beliau menjawab: "(Yaitu golongan) yang berada di atas jalanku sekarang ini dan para sahabatku".1

Agama Islam saat permulaan penyebarannya sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan hingga kedatangan masa para khulafaur-rasyidin adalah Islam yang satu; Islam (berdasarkan) al Kitab dan as-Sunnah dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selanjutnya, muncullah golongan-golongan, aliran-aliran pemikiran dan kelompok-kelompok. Masing-masing menggagas metode tersendiri untuk memahami agama. Silang pendapat ini kebanyakan bersifat ikhtilaf tadhadd (kontradiktif). Golongan-golongan yang banyak dan bermacam-macam ini, masing-masing mengklaim diri berada di atas Islam yang shahih, berada di atas kebenaran; sekalipun mereka adalah ahli bid'ah, saat melangsungkan ibadah kepada Allah Ta'ala dengan bid'ah-bid'ah (ibadah ciptaan mereka), (dan) mereka menyangka sedang menjalankan sebuah kebajikan. Atas dasar ini, bid'ah lebih berbahaya daripada maksiat. Pasalnya, orang yang bermaksiat tidak berpikir sedang beribadah dengan kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukannya. Sedangkan ahli bid'ah, maka setan menghias amalan bid'ah pada pandangan ahli bid'ah, sehingga ia memandangnya sebagai kebaikan. Karena itu, Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:

الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ وَالْمَعْصِيَةُ يتُاَبُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لَا يُتَابُ مِنْهَا

Bid'ah lebih disukai oleh iblis ketimbang maksiat-maksiat. Karena maksiat masih disesali dengan taubat. Sedangkan bid'ah tidak disesali dengan bertaubat.2

Dari sini, mungkin ada yang bertanya atau diam sejenak untuk melontarkan pertanyaan: "Atas dasar pemahaman apa, Islam yang shahih itu dibangun? Apakah merujuk pemahaman kaum Khawarij, pemahaman golongan Mu'tazilah, kerangka berpikir kelompok Murji`ah? Ataukah berdasarkan pemahaman golongan-golongan yang termuat di dalam kitab-kitab tentang firoq (golongan-golongan yang sesat)?

Oleh sebab itu, perlu disampaikan penjelasan mengenai Islam yang shahih sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Ta'ala dan diridhai oleh-Nya bagi kita, serta yang sudah disampaikan penjelasannya oleh Rasulullah dan memerintahkan kita untuk konsisten di atasnya pada masa munculnya ikhtilaf (perbedaan) dan perpecahan.

Saya ingin mengetengahkan satu masalah penting, yakni, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan para sahabat di masa terjadinya perpecahan umat dalam dua kesempatan (dua hadits), dan (beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ) memerintahkan untuk memegangi manhaj para sahabat beliau.

Hadits Pertama. Hadits al 'Irbadh bin Sariyah :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang banyak. Maka, kewajiban kalian ialah memegangi Sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin sepeninggalku. Pegangilah dengan geraham-geraham kalian . . . .3

Di sini, beliau memberitahukan adanya ikhtilaf (perbedaan pandangan), dan disertai penyebutan jalan keluar dari perpecahan itu. Yaitu, (memegangi) Sunnah Rasulullah sebagaimana telah diamalkan oleh para sahabat beliau. Yang dimaksud khulafaur-rasyidin (para pengganti yang mendapatkan petunjuk), yaitu para sahabat Nabi. Makna yang dinginkan di sini (dalam hadits di atas, Red.), adalah iradatu fahmin (pengalihan wewenang pemahaman), bukan iradatu hukmin (pengalihan wewenang kekuasaan). Setiap sahabat Nabi merupakan penerus Nabi dalam aspek pemahaman, manhaj dan agamanya.

(Hadits Kedua). Hadits 'Amr bin al 'Ash yang diriwayatkan at-Tirmidzi dengan isnad yang hasan

Umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu. Kata beliau: "(Yaitu golongan yang berpegang teguh dengan jalan yang) aku dan para sahabatku berada di atasnya sekarang ini".

Tatkala menyebutkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan manhaj (metode) yang masih eksis berada di atas jalan dan Sunnah beliau. Yakni, jalan yang telah dipegangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat. Dengan ini, maka memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang berlandaskan pemahaman para sahabat, itulah agama Islam yang diridhai.

Allah berfirman :

وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

(Dan Kuridhai Islam menjadi agama kalian).

Maksudnya, yaitu agama yang dijalankan oleh Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Muhammad radhiallahu'anhum ajma'in. Dan lagi, tugas para sahabat di tengah umat ini ibarat tugas Nabi Muhammad di hadapan para sahabat. Tanggung jawab Nabi di tengah umat ini dan di hadapan para sahabat ialah menjadi saksi atas mereka. Dan keberadaan sahabat di hadapan umat menjadi saksi atas umat ini.

Allah Ta'ala berfirman :

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS al Baqarah/2:143).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah saksi atas umat ini. Setelah beliau wafat, tinggallah sahabat Rasulullah menjadi saksi atas umat. Karena itu, terdapat riwayat dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Musa al Asy'ari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ

Bintang-bintang merupakan amanah bagi langit. Apabila bintang-bintang lenyap, maka tibalah perkara yang sudah ditetapkan bagi langit. Dan aku penjaga amanah di tengah sahabatku. Bila aku telah pergi, maka datanglah kepada para sahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka. Dan sahabatku penjaga amanah di tengah umatku. Apabila para sahabatku telah pergi, maka datanglah kepada umatku perkara yang dijanjikan kepada mereka.4

Maknanya, bila bintang-bintang itu telah pergi, tidak kembali lagi. Dan bila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi, maka datanglah pada para sahabat masalah yang telah dikabarkan kepada mereka. Dan jika para sahabat telah pergi, maka muncullah kejadian yang sudah dijanjikan kepada umatku.

Melalui pemaparan hadits-hadits ini, Nabi n menjelaskan bahwa Islam yang benar ialah yang berlandaskan pada jalan Rasulullah dan para sahabat Rasulullah radhiallahu'anhum ajma'in .

Masalah yang sudah kami kemukakan dan manhaj yang telah kami menepatinya ini, didukung oleh al Qur`an dan dikuatkan oleh as-Sunnah, para sahabat dan generasi Tabi'in, serta para ulama umat Islam. Satu per satu hendak saya sampaikan bukti-buktinya:

(Sebagian dalil dari al Qur`an):

Allah Ta'ala mewajibkan seorang muslim untuk mengikuti al Kitab dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat. Allah Ta'ala berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. An Nisa/ 4:115)

Sabilul-mukminin adalah jalan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam . Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Jamrah: Para ulama berkata, bahwa sabilul-mukminin adalah jalan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam .

Allah Ta'ala berfirman :

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah . . . (QS at Taubah/ 9:100).

(Dalam ayat ini), Allah Ta'ala menyebutkan dua thabaqat (tingkatan) manusia. Tingkatan Pertama, yaitu orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Tingkatan Kedua, yaitu tingkatan orang-orang yang mengikuti mereka, mengikuti Muhajirin dan Anshar.

Tingkatan Muhajirin dan Anshar adalah para sahabat Rasulullah. Karena yang dimaksud dengan "dahulu" di sini adalah generasinya. Sehingga setiap sahabat, (mereka) mendahului para generasi Tabi'in.

Allah l menyanjung para generasi Sabiqunal-Awwalun dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mengapa Allah Ta'ala memuji orang-orang yang mengikuti Sabiqunal-Awwalun? Karena mereka mengikuti jalan kaum Muhajirin dan Anshar.

Dalam ayat ini tersirat sebuah pelajaran manhaj, yaitu Allah Ta'ala tidak menyebutkan mengenai ittiba’ur-Rasul (mengikuti Rasulullah). Tujuannya, untuk menjelaskan kepada kita semua, bahwa ittiba'ur-Rasul tidak akan terwujud, kecuali dengan perantara, yang mengambil manhaj, istidlal dan talaqqi. Yakni para sahabat radhiallahu'anhum ajma'in . Maka, seorang muslim belum menempuh jalan ittiba’ur-Rasullah sebelum memahami manhaj beliau berdasarkan pemahaman para sahabat Rasulullah.

(Sebagian dalil dari hadits):

Sedangkan hadits-hadits yang menyatakan kewajiban mengikuti al Kitab dan as-Sunnah dengan merujuk pemahaman para sahabat yang mulia sangat banyak. Sebagian sudah dipaparkan. Di antaranya, hadits al ‘Irbadh bin Sariyah:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang banyak. Maka, kewajiban kalian ialah memegangi Sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin sepeninggalku. Pegangilah dengan geraham-geraham kalian . . .

Maksudnya, pegangi sunnah para sahabatku. Beliau n tidak mengatakan 'adhdhu 'alaihima (pegangi keduanya), akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan 'adhdhu alaiha (عَضُّوا عَلَيْهَا , pegangi dia, dijadikan satu kesatuan dalam satu kata ganti, Red.). Artinya, sunnah para sahabat merupakan sunnah beliau juga. Merekalah yang menyampaikan sunnah beliau. Orang-orang yang menyampaikan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah; mereka adalah para sahabat Nabi.

Oleh karena itu, para ulama menetapkan, siapa saja yang menikam kehormatan para sahabat, ia adalah zindiq. Maksudnya, dengan mencela atau berkomentar miring terhadap sahabat atau mengkafirkan mereka, (maka) orang-orang tersebut (adalah) zindiq. Abu Zur'ah radhiallahu'anhu pernah ditanya tentang orang-orang yang menikam kehormatan para sahabat. Beliau radhiallahu'anhu menjawab:

وَإِنَّمَا يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَجْرَحُوْا شهُوْدَنَا لِيُبْطِلُوْا الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ وَالْجَرْحُ أَوْلَى بِهِمْ وَهُمْ زَناَدِقَةٌ

Mereka itu ingin menciderai reputasi merusak kehormatan para saksi kita untuk menggugurkan al Kitab dan as-Sunnah. Padahal mereka itulah (yang) lebih pantas ditikam kehormatannya. Mereka itu kaum zindiq.5

Mereka itu ingin menghancurkan kedudukan orang-orang yang telah menyampaikan al Qur`an dan as-Sunnah kepada kita. (Padahal), justru mereka itulah yang lebih pantas untuk dijatuhkan kehormatannya.

Hadits yang lainnya masih banyak. Misalnya, hadits:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku. Kemudian generasi selanjutnya, dan kemudian generasi selanjutnya.6

Aspek puncak kebaikan pada hadits ini, ialah ditinjau dari aspek ilmu dan pemahaman, bukan (dari aspek) kebaikan fisik, nasab (keturunan) atau lainnya. Kemudian datang generasi sahabat. Yang menjadikan manhaj dan pemahaman mereka sebagai hujjah di hadapan umat setelahnya. Terutama, saat mereka beradu argumentasi dengan golongan-golongan sesat.

Sebut saja 'Abdullah bin Mas'ud. Suatu hari, beliau memasuki masjid Kufah. Di dalamnya, beliau menyaksikan sekumpulan orang-orang duduk melingkar sambil mengucapkan tasbih, takbir dan tahmid dengan hitungan kerikil-kerikil. (Berikut dialog antara sahabat 'Abdullah bin Mas’ud dengan mereka).

قَالَ : مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ
قَالَ: فَعُدّ ُوا سَيِّئَ اتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَا تِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ
قَال : َ وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Beliau ('Abdullah bin Mas'ud) bertanya (kepada mereka),"Perbuatan apakah yang sedang aku lihat kalian mengerjakannya?”

Mereka menjawab,"Wahai Abu Abdir-Rahman! Ini adalah kerikil-kerikil. Kami membaca takbir, tahlil dan tasbih dengannya."

Maka beliau menimpali: "Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian. Sesungguhnya aku menjamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepatnya kalian terseret kepada kebinasaan. Para sahabat Nabi kalian pun masih banyak. Lihatlah, baju-baju Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam belum rusak. Periuk-periuk beliau belum pecah”.

Mereka berdalih,"Kami hanya ingin berbuat baik saja."

Beliau pun berkata: "Berapa banyak orang menginginkan kebaikan, akan tetapi tidak meraihnya atau tidak sampai kepadanya".

Syahid (bukti yang bisa dipegangi) dari pernyataan itu ialah, "sedangkan para sahabat masih banyak". Seandainya kalian berada di atas jalan kebenaran, sudah pasti ada sahabat yang bersama dengan kalian. Ketika tidak ada seorang pun dari mereka yang bersama kalian, berarti kalian berada dalam pintu kesesatan.

Lihatlah, logika berikut yang dipakai 'Abdullah bin Mas'ud dalam membungkam mereka. Beliau mengatakan selanjutnya :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ . إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ

"Demi Allah, wahai orang-orang, kalian itu berada di atas ajaran, kalau tidak lebih baik dari ajaran Muhammad (dan ini merupakan bentuk kekufuran) atau kalian sedang membuka pintu kesesatan. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami ada kaum yang membaca al Qur`an tapi tidak menembus kerongkongan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu, mungkin kebanyakan dari kalian termasuk mereka ".

Perawi hadits ini, 'Amr bin Salimah berkata: "Kami menyaksikan kebanyakan orang-orang itu mememerangi kami di perang Nahrawan bersama Khawarij".7

Jadi, ketika mereka keluar dari pemahaman para sahabat Rasulullah, hal itu menyebabkan mereka khuruj (melepaskan diri) dari umat Rasulullah.

Juga cara yang ditempuh oleh Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu saat Khalifah Ali radhiallahu'anhu mengutusnya menghadapi orang-orang Khawarij.

Mereka bertanya,"Darimana engkau?"

Beliau (Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhu ) menjawab,"Aku datang dari saudara sepupu Rasulullah dan menantu beliau dan dari para sahabat. Kepada merekalah al Qur`an turun. Mereka adalah orang-orang yang lebih berilmu daripada kalian. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menyertai kalian".

Lihatlah, 'Abdullah bin Mas'ud dan Ibnu 'Abbas mendesak pionir-pionir kaum Khawarij dengan manhaj para sahabat Rasulullah, dan menjadikan pemahaman para sahabat sebagai sumber argumentasi di hadapan mereka.

Setelah itu, melalui pergantian generasi demi generasi, ternyata kita menjumpai para ulama di setiap generasi dan abad itu, mereka bersepakat satu kata dalam masalah ini. Yaitu, keharusan memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dengan merujuk (kepada) pemahaman para sahabat, hingga pada masa kita sekarang ini.

Kita melihat ulama-ulama besar pada zaman sekarang, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu 'Utsaimin; mereka semua sepakat, bahwa seorang muslim seharusnya memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi. Inilah yang disebut manhaj Salaf. Pasalnya, bila menyaksikan keadaan golongan-golongan yang ada, baik pada zaman dahulu atau firqoh pada masa sekarang ini, sangat bertentangan dengan manhaj para sahabat.

Ambil contoh, Khawarij. Perkara prinsip (yang ada) pada mereka, (yaitu) mengkafirkan para sahabat dan bahkan memeranginya. Mereka telah melakukan pemberontakan terhadap 'Utsman, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka juga melancarkan pemberontakan kepada 'Ali, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka memerangi para sahabat dan membunuhi dan mengkafirkannya. Bagaimana bisa dikatakan, mereka berada di atas manhaj yang sesuai dengan manhaj para sahabat Nabi yang sudah mereka perangi dan mereka bunuh?

Begitu pula, kaum Syi'ah, yang telah mengkafirkan para sahabat Nabi, kecuali tiga atau tujuh orang sahabat saja yang selamat dari vonis mereka. Salah seorang ulama Syi'ah melontarkan perkataan: "Telah binasa para sahabat Nabi, kecuali tiga atau tujuh orang saja". Mereka selalu melaknat Abu Bakr dan 'Umar. Mereka juga memiliki bacaan sholawat yang berbunyi: "Ya Allah, laknatlah dua berhala Quraisy, jibt dan thaghut mereka (Abu Bakr dan Umar), yang telah melakukan tahrif (perubahan) terhadap kitab-Mu". Bagaimana mungkin Syi'ah berada di atas pemahaman para sahabat Rasulullah?!

Atau lihat saja Mu'tazilah. Tokoh besarnya, Washil bin 'Atha` berkomentar miring terhadap sahabat 'Ali, az-Zubair dan Thalhah yang telah menerima kabar gembira dari Nabi n berupa masuk syurga.

Ia (Washil bin 'Atha`) berkata,"Seandainya Thalhah, az-Zubair dan 'Ali bersaksi mengenai setumpuk sayuran di depanku, aku tidak akan menerima persaksiannya."

Bagaimana mungkin mereka berada di atas manhaj para sahabat, sebab mereka saja menolak persaksian sahabat?!

Lihat juga pentolan Mu'tazilah lainnya, (yaitu) ‘Amr bin 'Ubaid. (Dia) berkomentar tentang sahabat dengan berkata: "(Mereka itu) amwatun ghairu ahya` (orang-orang mati, tidak hidup)".

Menikam dan menghina para sahabat Rasulullah! Jadi, golongan-golongan itu, banyak yang melancarkan penghinaan kepada sebagian sahabat.

Demikian pula, bila kita perhatikan kelompok-kelompok pergerakan pada zaman sekarang ini; akan kita jumpai sebagian pendiri dan tokoh-tokohnya menjatuhkan kehormatan sebagian sahabat. Ada yang menyatakannya dengan sindiran. Contoh-contohnya sangat banyak.

Coba lihat, penulis kitab adh-Dhilal (Dhilalul-Qur`an). Penulis kitab itu (telah) menghina sahabat 'Amr bin al 'Ash dan Mu'awiyyah. Bahkan menganggap kekhilafahan (kekuasaan) Khalifah 'Utsman sebagai pengisi kekosongan belaka antara 'Umar dan 'Ali. Artinya, orang ini mengesampingkan kekhilafahan 'Utsman.

Sebagian lagi melontarkan celaan kepada sahabat Mu'awiyyah. Sejumlah orang begitu meremehkan masalah penghinaan yang dialamatkan kepada beliau. Sebagian ulama Salaf berkata: "Mu'awiyyah adalah sitr (kain pelindung) para sahabat. Bila penutup ini sudah tersibak, maka pintu itu akan termasuki". Maksudnya, bila orang sudah berani mencaci-maki Mu'awiyyah, maka pada gilirannya, ia akan terjerumus dalam cacian yang dilontarkan kepada Abu Musa al Asy'ari, 'Utsman, 'Ali dan sahabat lainnya.

Kita tidak akan mendapati golongan yang menghormati para sahabat dan mengagungkan serta menilai mereka sebagai orang-orang 'udul (adil, bersih), kecuali Ahli Sunnah wal Jama'ah. Mereka itulah yang berjalan di atas pemahaman Salafush-Shalih, manhaj ahli hadits.

Apakah berarti golongan-golongan itu telah keluar dari agama Islam? Tidak demikian adanya.

Ibnul-Qayyim telah mengeluarkan pernyataan yang layak menjadi kaidah emas dalam masalah ini. Beliau mengatakan, syariat ada tiga macam: aturan syari'at yang munazzal (diturunkan), aturan syari'at yang muawwal (hasil takwil), dan syari'at mubaddal (yang telah dirubah). Golongan yang menjalankan syari'at yang munazzal (yang diturunkan) oleh Allah kepada Rasulullah adalah Ahli Sunnah wal Jama'ah. Mereka itulah yang mengamalkan al Qur`an dan as-Sunnah dengan dasar pemahaman Salaful-Ummah. Sedangkan manhaj-manhaj atau golongan lainnya, kalau tidak bertumpu pada syari'at yang sudah ditakwilkan, maka berlandaskan syari'at yang sudah mengalami perubahan. Setiap golongan itu, hukumnya tergantung dengan kondisinya.

Meskipun sudah sangat jelas kebenaran manhaj Salaf ini, masih saja ada orang yang melontarkan tuduhan-tuduhan, syubuhat, keraguan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada umat Muhammad dan meneguhkan kita di atas manhaj yang benar ini.

Washallallahu ‘ala Nabiyyi Muhammad wa ‘ala alihi wa Shahbihi wa sallam.

1. Hadits shahih, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Lafazh di atas riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (2641), al Hakim (1/129-128), Ibnu Wadhdhah dalam al Bida' (hlm. 15-16), al Ajurri dalam asy-Syari'ah (16), al Lalikai dalam Syarhu Ushulil-I'tiqad (147) dll. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam ash-Shahihah. Menjadi shahih karena keberadaan beberapa syahid (penguat). Al Hakim mengatakan tentang hadits ini: "Ini adalah hadits penting dalam masalah ushul". Syaikh al Albani di kitab yang sama, mengutip tash-hih dari para ulama sebelumnya. Misalnya Ibnu Hajr, Ibnu Taimiyah, asy-Syathibi, al 'Iraqi rahimahullah .

2. Syarhul-Ushulil-I'tiqad, al Lalikai (1185). Syaikhul-Islam menerangkan maksud pernyataan di atas dengan berkata: "Sesungguhnya ahli bid'ah mengikuti ajaran yang tidak disyari'atkan Allah dan Rasul-Nya. Setan telah memperindah amalan buruknya itu, hingga ia memandangnya baik. Ia tidak bertaubat selama menilai amalannya baik. Sebab, permulaan taubat dimulai dengan ilmu, bahwa tindakannya buruk untuk disesali. Atau lantaran ia meninggalkan suatu yang baik, yang wajib maupun sunnah. Dia bertaubat dan berjanji melaksanakannya. Selama orang itu melihat tindakannya merupakan amalan baik, padahal amalannya buruk, karenanya, ia tidak bertaubat". Lihat Majmu' al Fatawa (10/9). Dinukil dari Ilmu Ushulil-Bida' karya Ali bin Hasan al Halabi, hlm. 218.

3. Hadits ini, sebagaimana keterangan Syaikh Syu'ab al Arnauth diriwayatkan oleh Abu Dawud (4607), at-Tirmidzi (2676), Ahmad (4/126-127), ad-Darimi (1/144), Ibnu Majah (43), Ibnu Abi Ashim di dalam as-Sunnah (27), ath-Thahawi dalam Syarhu Musykili Atsar (2/69), al Baghawi (102), al Ajurri dalam asy-Syari'ah (46), al Baihaqi (6/541), al Lalikai dalam Syarhul-Ushulil-I'tiqad (81), al Marwazi dalam as-Sunnah (69), (72), Abu Nu'aim dalam al Hilyah (5/220) (10/115), al Hakim (1/95-97) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban (5). Hadits ini, dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin al 'Abbad, ulama hadits di kota Madinah sebagai hadits yang shahih dalam pandangan Ahli Sunnah. At-Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih". Al Hakim berkata: "Hadis shahih tidak ada cacatnya," dan adz-Dzahabi menyepakatinya. Abu Nu'aim berkata: "Ia adalah hadits jayyid, termasuk hadits shahih dari orang-orang Syam." Lihat Jami'ul-Ulum wal-Hikam (2/109). Dihasankan oleh al Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (102) dan al Albani di dalam ta'liq kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim (1/18-19). Keterangan ini dikutip dari al Intishar li Ahlis-Sunnah wal-Hadits karya Syaikh Abdul Muhsin al Abbad. Sengaja penterjemah mengutip secara lengkap, disebabkan ada yang meragukan keabsahan hadits ini sebagai hujjah.

4. HR Muslim (2531). Maksudnya, seperti diungkapkan oleh al Imam an-Nawawi dalam Syarhu Shahih Muslim, (secara ringkas) selama bintang-bintang itu tetap ada, maka langit pun juga demikian. Jika bintang-bintang sudah berjatuhan pada hari Kiamat, maka langit pun terpecah dan lenyap. Hal-hal yang dijanjikan kepada para sahabat, yaitu peristiwa-peristiwa fitnah, peperangan, timbulnya gejala keluar dari agama (murtad) dari kalangan orang-orang Badui, perpecahan hati dan peristiwa lainnya yang sudah diperingatkan Nabi dengan terang-terangan. Sedangkan kejadian yang dijanjikan kepada umatnya, yaitu munculnya bid’ah (perkara-perkara baru dalam agama) dan fitnah. Lihat Syarhu Shahih Muslim.

5. Diriwayatkan oleh al Khathib al Baghdadi dalam al Kifayah fi ‘Ilmir-Riwayah, hlm. 49. Dikutip dari al Intishar lish-Shahbi wal al . . ., karya Dr. Ibrahim ar-Ruhaili, hlm. 97.

6. HR al Bukhari (2652) dan Muslim (2533), (211).

7. Riwayat ad-Darimi (1/68-69). Dikutip dari Ilmu Ushulil-Bida’, hlm. 92